KABAR CIKARANG - Jakarta kembali menjadi saksi dari gelombang perlawanan mahasiswa yang turun ke jalan dengan semangat membara. Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia berkumpul di depan Gedung DPR RI, membawa tuntutan yang tidak hanya menyuarakan kepentingan kampus, tetapi juga menggambarkan keresahan rakyat. Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, melainkan simbol dari kebangkitan kesadaran kolektif generasi muda terhadap arah kebijakan negara.
Gerakan ini dikenal dengan nama “Piknik Rakyat Nasional”, sebuah aksi damai yang dikemas dengan nuansa kreatif namun tetap menyimpan ketegasan dalam tuntutan. Mahasiswa datang dengan poster, orasi, musik, dan teater jalanan, menciptakan atmosfer yang tidak hanya politis tetapi juga artistik. Di balik ekspresi seni itu, tersimpan 17+8 tuntutan yang menjadi inti dari gerakan ini. Tuntutan tersebut mencakup reformasi DPR, transparansi anggaran, penghentian kekerasan aparat, perlindungan hak asasi manusia, dan peningkatan kesejahteraan guru, buruh, serta masyarakat adat.
Sebanyak 1.723 personel polisi dikerahkan untuk mengamankan aksi tersebut. Jumlah ini menunjukkan betapa besar perhatian aparat terhadap potensi eskalasi dari gerakan mahasiswa. Meski demikian, aksi berlangsung relatif damai, dengan mahasiswa menjaga disiplin dan menghindari provokasi. Mereka datang bukan untuk menciptakan kerusuhan, tetapi untuk menyampaikan aspirasi dengan cara yang bermartabat.
Yang menarik dari aksi ini adalah keterlibatan lintas isu dan wilayah. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir turut bergabung, membawa semangat perjuangan hak asasi manusia yang belum selesai. Aliansi Rakyat Papua juga hadir, menyuarakan keadilan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan. Kehadiran mereka memperkuat pesan bahwa gerakan mahasiswa bukan hanya soal pendidikan, tetapi juga tentang keadilan sosial secara menyeluruh.
Mahasiswa membawa narasi yang tajam dan terstruktur. Mereka tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi. Dalam orasi mereka, terlihat pemahaman mendalam tentang isu-isu kebijakan, mulai dari anggaran pendidikan yang minim, ketimpangan ekonomi, hingga praktik oligarki dalam politik nasional. Mereka menuntut agar DPR tidak hanya menjadi lembaga formal, tetapi benar-benar menjadi wakil rakyat yang mendengarkan suara dari bawah.
Aksi ini juga menjadi panggung bagi mahasiswa untuk menunjukkan bahwa mereka bukan generasi apatis. Mereka adalah generasi yang melek informasi, kritis terhadap kebijakan, dan berani mengambil peran. Di tengah arus digital yang sering kali membuat perhatian publik terpecah, mahasiswa berhasil menarik fokus kembali ke isu-isu fundamental yang menyentuh kehidupan banyak orang.
Di media sosial, tagar-tagar terkait aksi ini menjadi trending. Video orasi, poster tuntutan, dan dokumentasi lapangan menyebar luas, menciptakan gelombang dukungan dari masyarakat sipil. Banyak tokoh publik, akademisi, dan aktivis turut memberikan apresiasi terhadap keberanian mahasiswa. Mereka menilai bahwa gerakan ini adalah bentuk nyata dari demokrasi yang hidup, di mana rakyat tidak hanya memilih, tetapi juga mengawasi dan menuntut.
Namun, seperti biasa, tidak semua pihak menyambut aksi ini dengan tangan terbuka. Ada yang mencoba mereduksi gerakan mahasiswa sebagai aksi yang ditunggangi kepentingan politik. Ada pula yang menuduh mereka tidak memahami kompleksitas kebijakan negara. Tuduhan-tuduhan ini menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa untuk menjaga kredibilitas dan konsistensi gerakan mereka.
Mahasiswa menjawab tudingan itu dengan data, dialog, dan disiplin. Mereka menunjukkan bahwa gerakan ini lahir dari keresahan nyata, bukan rekayasa. Mereka mengutip laporan anggaran, hasil riset, dan pengalaman lapangan untuk memperkuat argumen mereka. Ini adalah bentuk aktivisme yang matang, jauh dari stigma lama tentang mahasiswa yang hanya bisa berteriak tanpa solusi.
Demo ini juga menjadi refleksi bagi DPR dan pemerintah. Apakah mereka benar-benar mendengarkan suara rakyat? Apakah mereka bersedia membuka ruang dialog yang jujur dan setara? Mahasiswa telah menunjukkan bahwa mereka siap berdiskusi, siap berkontribusi, dan siap mengawal kebijakan. Kini, bola ada di tangan para pengambil keputusan.
Gerakan ini bukan akhir, melainkan awal dari babak baru dalam partisipasi politik anak muda. Mereka telah membuktikan bahwa jalanan bukan hanya tempat protes, tetapi juga ruang pendidikan politik yang nyata. Di sana, mereka belajar tentang solidaritas, strategi, dan keberanian. Di sana pula, mereka membangun jaringan, memperkuat gagasan, dan menanam benih perubahan.
Jika gerakan ini terus dijaga dengan semangat inklusif, disiplin, dan berbasis data, bukan tidak mungkin mahasiswa akan menjadi kekuatan penyeimbang dalam demokrasi Indonesia. Mereka bisa menjadi mitra kritis bagi pemerintah, pengingat bagi DPR, dan inspirasi bagi masyarakat luas. Agus Setiawan, yang juga hadir dalam sorotan publik sebagai Ketua BEM UI, menjadi bagian dari gelombang ini. Ia dan rekan-rekannya membawa harapan bahwa mahasiswa bukan hanya pewaris masa depan, tetapi juga pembentuk masa kini.
Aksi demo mahasiswa di DPR RI adalah bukti bahwa demokrasi masih hidup. Bahwa suara dari jalanan bisa menggema hingga ke ruang kebijakan. Bahwa generasi muda tidak tinggal diam, tetapi bergerak, berpikir, dan bertindak. Dan bahwa perubahan, sekecil apapun, selalu dimulai dari keberanian untuk bersuara.
Komentar
Posting Komentar