Jakarta, 2 September 2025 – Indonesia tengah berada di ambang krisis sosial-politik besar setelah ribuan warga dari berbagai lapisan masyarakat turun ke jalan menuntut reformasi menyeluruh. Aksi demonstrasi yang awalnya damai, kini berubah menjadi gelombang kemarahan rakyat yang tidak bisa dibendung.
Protes ini dipicu oleh laporan bocoran anggaran yang menunjukkan bahwa anggota DPR menerima tunjangan fantastis yang mencapai lebih dari Rp50 juta per bulan. Di tengah meningkatnya harga kebutuhan pokok dan stagnasi ekonomi, informasi ini menyulut api ketidakpuasan publik yang selama ini terpendam.
Massa mulai berkumpul sejak pekan lalu di berbagai titik strategis seperti depan Gedung DPR, Balai Kota, dan kantor-kantor pemerintah daerah. Mereka membawa spanduk bertuliskan "Rakyat Lapar, DPR Foya-Foya", "Reformasi Dikorupsi Lagi", dan "Turunkan Gaji DPR, Naikkan Upah Buruh".
Tragedi terjadi ketika seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas tertabrak kendaraan taktis milik kepolisian saat mencoba menolong rekan yang pingsan akibat gas air mata. Kejadian ini terekam kamera dan viral di media sosial, memicu gelombang solidaritas serta kemarahan yang lebih luas.
Pihak keluarga Affan menolak jenazah anaknya disemayamkan di rumah sakit milik pemerintah dan memilih menggelar pemakaman secara independen dengan iringan doa serta orasi dari sesama pengemudi ojek. Tagar #JusticeForAffan pun menjadi trending topik nasional selama dua hari berturut-turut.
Presiden Prabowo Subianto yang saat itu sedang dijadwalkan melakukan kunjungan kerja ke Tokyo, segera membatalkan perjalanannya dan memanggil rapat darurat di Istana Negara. Dalam pernyataan resminya, Presiden menyatakan duka cita atas wafatnya Affan, namun menegaskan bahwa negara tidak akan mentoleransi aksi yang merusak fasilitas umum.
Namun, pernyataan tersebut tidak mampu meredam amarah publik. Justru sebaliknya, semakin banyak masyarakat dari luar Jakarta yang turut menggelar aksi solidaritas di daerahnya masing-masing. Di Yogyakarta, Bandung, Makassar, dan Medan, demonstrasi besar juga berlangsung, bahkan hingga malam hari.
Bentrokan tak terhindarkan. Aparat keamanan menggunakan gas air mata dan water cannon, sementara massa membalas dengan batu dan molotov. Beberapa kantor pemerintah terbakar, termasuk kantor dinas perizinan di Surabaya dan posko partai politik di Bandung yang dirusak massa.
Sebagian pihak menyebut bahwa kekacauan ini adalah puncak dari akumulasi kekecewaan yang selama ini diabaikan. “Ini bukan sekadar soal tunjangan DPR. Ini tentang rasa tidak adil yang kami rasakan bertahun-tahun,” ujar seorang mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada yang ikut aksi.
Sementara itu, LSM dan akademisi meminta pemerintah membuka ruang dialog, bukan menambah pasukan keamanan. Mereka menekankan bahwa represifitas hanya akan memperbesar potensi kekerasan dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Kepolisian mengklaim telah menangkap lebih dari 1.200 demonstran di seluruh Indonesia, sebagian besar adalah mahasiswa dan buruh. Namun, banyak dari mereka dilepaskan kembali setelah dinilai tidak terlibat dalam aksi anarkis.
Badan Intelijen Negara (BIN) turut mengeluarkan peringatan akan potensi infiltrasi kelompok radikal di tengah-tengah kerumunan demonstran. Namun, tudingan ini dianggap sebagai bentuk pengalihan isu oleh aktivis HAM yang menyebut pemerintah tengah mencari kambing hitam.
Di sisi lain, pasar keuangan mengalami tekanan. Rupiah melemah terhadap dolar AS, indeks saham BEI anjlok 3%, dan investor asing mulai menarik dana dari pasar modal domestik. Menteri Keuangan pun mengadakan pertemuan darurat dengan Bank Indonesia untuk menstabilkan kondisi ekonomi.
Sebagai respons, Presiden Prabowo akhirnya mengumumkan pemangkasan tunjangan pejabat negara hingga 40%, pembekuan perjalanan dinas luar negeri, serta evaluasi total struktur gaji di lembaga legislatif. Meski kebijakan ini disambut positif oleh sebagian pihak, banyak yang menilai itu belum cukup.
Rakyat menuntut lebih dari sekadar potongan tunjangan. Mereka meminta transparansi anggaran negara, penguatan KPK, dan revisi UU yang dianggap melemahkan partisipasi publik. Gelombang protes ini menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan sekadar rutinitas pemilu, tapi janji keadilan sosial yang nyata.
Komentar
Posting Komentar