BIZKEY MEDIA - Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai pusat budaya dan pendidikan kembali menjadi sorotan publik. Kali ini bukan karena kegiatan seni atau acara kebudayaan, melainkan karena munculnya grafiti mencolok bertuliskan “RESET SYSTEM” di sejumlah sudut kota. Tulisan dengan warna-warna terang seperti hijau neon dan pink tersebut langsung menarik perhatian warga maupun pengguna jalan.
Fenomena ini memicu perbincangan luas, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Banyak orang menafsirkan grafiti tersebut sebagai bentuk kritik terhadap kondisi sosial dan politik yang belakangan dianggap tidak stabil. Kata “RESET SYSTEM” seolah menjadi ajakan untuk mengulang atau memperbaiki sistem yang sedang berjalan di Indonesia.
Tidak sedikit warga yang menganggap grafiti tersebut adalah karya seni jalanan dengan makna mendalam. Menurut mereka, pesan yang disampaikan merepresentasikan keresahan masyarakat yang jenuh dengan situasi ketidakadilan dan kebijakan pemerintah yang dinilai kurang berpihak pada rakyat kecil.
Lokasi grafiti ini juga dipilih dengan cermat. Beberapa tulisan ditemukan di tembok dekat jalan utama, halte, hingga jembatan penyeberangan. Pemilihan lokasi strategis membuat pesan tersebut lebih cepat terlihat oleh publik, sehingga pesan kritik sosialnya semakin kuat tersampaikan.
Kalangan seniman jalanan menilai grafiti ini sebagai bentuk ekspresi kreatif sekaligus kritik simbolik. Mereka menyebut bahwa seni jalanan memang kerap digunakan sebagai media alternatif untuk menyuarakan pendapat yang mungkin tidak bisa disampaikan lewat jalur formal.
Di sisi lain, aparat keamanan dan pemerintah daerah menganggap munculnya grafiti ini sebagai tindakan vandalisme. Petugas kebersihan kota segera dikerahkan untuk menghapus beberapa tulisan yang dianggap merusak fasilitas umum. Namun, sebelum dihapus, sejumlah warganet sempat mengabadikan dan menyebarkan gambar grafiti tersebut hingga viral di media sosial.
Perdebatan pun muncul. Sebagian orang menganggap penghapusan grafiti justru menghilangkan suara kritik rakyat, sementara pihak lain berpendapat bahwa ruang publik harus tetap dijaga agar tidak penuh coretan sembarangan. Perbedaan pandangan ini mencerminkan bagaimana seni jalanan bisa menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Pakar komunikasi politik menilai bahwa grafiti “RESET SYSTEM” memiliki makna simbolik yang kuat. Menurut mereka, pesan ini mencerminkan keresahan generasi muda yang ingin perubahan lebih cepat. Kata “reset” tidak hanya berarti memulai ulang, tetapi juga ajakan untuk memperbaiki sistem yang dianggap gagal.
Beberapa pengamat budaya menyebut bahwa fenomena grafiti di Yogyakarta bukanlah hal baru. Kota pelajar ini sudah lama dikenal sebagai pusat kreativitas seni, termasuk seni jalanan. Bedanya, kali ini pesan yang diangkat sangat politis dan kontekstual dengan situasi nasional.
Warga setempat juga memberikan tanggapan beragam. Ada yang mendukung dan menganggapnya sebagai kritik membangun, namun ada pula yang menolak karena mengganggu estetika kota. Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa grafiti tersebut telah berhasil memancing diskusi luas tentang kondisi sosial-politik.
Media internasional turut menyoroti fenomena ini. Beberapa media asing menggambarkan grafiti “RESET SYSTEM” sebagai simbol perlawanan masyarakat Indonesia terhadap sistem politik yang dianggap semakin jauh dari rakyat. Sorotan global ini menambah bobot makna dari karya seni jalanan yang sederhana namun penuh pesan tersebut.
Sementara itu, pemerintah daerah berusaha menenangkan situasi dengan mengimbau masyarakat agar menyampaikan aspirasi melalui jalur resmi. Namun, banyak kalangan muda merasa bahwa ruang formal sering kali tidak memberi ruang cukup bagi suara kritis, sehingga mereka memilih jalan alternatif melalui seni jalanan.
Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana kreativitas bisa menjadi senjata komunikasi yang ampuh. Dengan hanya dua kata sederhana, pesan “RESET SYSTEM” berhasil menggugah kesadaran banyak orang tentang perlunya perubahan sosial. Ini membuktikan bahwa seni tidak hanya untuk keindahan, tetapi juga alat perjuangan.
Beberapa komunitas mahasiswa bahkan mengaitkan grafiti ini dengan gelombang demonstrasi yang tengah berlangsung di ibu kota. Mereka menilai bahwa tulisan itu selaras dengan semangat gerakan mahasiswa yang menuntut perubahan kebijakan pemerintah. Dengan demikian, grafiti tersebut menjadi semacam simbol persatuan aspirasi.
Pada akhirnya, grafiti “RESET SYSTEM” di Yogyakarta menunjukkan bahwa ruang publik adalah medan penting bagi pertarungan gagasan. Entah dipandang sebagai vandalisme atau karya seni, pesan yang terkandung di dalamnya sudah terlanjur menggema dan membuka mata banyak orang tentang perlunya perubahan mendasar dalam sistem sosial dan politik Indonesia.
Komentar
Posting Komentar